Untuk bapak saya. Terimakasih, alasannya ialah secara ekonomi kau kalah dari adik-adikmu, sehingga Ibumu kadang membanding-bandingkan bawah umur dirinya yang lain, dengan dirimu. Bahkan pernah Pak, salah satu adikmu terang-terang berkata “Gunakan waktu, lihat Bapakmu, jangan hingga ibarat dia,” kepada saya. Seolah kau tidak patut ditiru, gagal dan sampah.

Di matamu, mungkin saya juga sampah. Saya gagal ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri, saya juga tidak merampungkan kuliah swasta, yang padahal kau membiayainya dari hutang-hutangmu. Sebenarnya kau tidak usah memaksakan diri ibarat itu, nanti dapat kurus.
Saya tahu, ketika saya Sekolah Menengan Atas dulu, kau menukar sepeda motormu dengan angsa 90’ demi membayar ujian, angsa yang tidak etis rasanya dikendarai oleh tubuhmu yang besar. Oh ya, terimakasih, badanmu selalu gendut, meskipun uangmu hanya 200-ribu seminggu.

Terimakasih, alasannya ialah kita pernah bangkrut, hingga menjual rumah yang bertahun-tahun kau menabung untuk membelinya, hanya demi saya, adik saya, dan istrimu tetap hidup. Terimakasih alasannya ialah sudah menandakan kepadaku, bahwa nenek dan kakek ialah orang yang baik, bersedia menampung kita sementara, meskipun waktu itu, untuk kita, nyaris tak ada kepastian dapat membeli rumah baru.

Terimakasih, sudah membawa kami untuk mengontrak rumah, dan kau hanya memberi saya ongkos. Terimakasih, sudah menganggur tanpa penghasilan bertahun-tahun. Terimakasih alasannya ialah keluar dari pekerjaanmu, menentukan bersama kami di sini, padahal kau tidak tahu sesudah keluar akan bekerja di mana. Perihal ini, kau sempat diskusi dengan Mama, kan? Mama tidak setuju, tetapi kau tetap teguh dengan apa yang diyakini.

Terimakasih, membiarkan Mama berkata penuh harap kepada saya “Semoga anak kita dapat memberangkatkan Bapak dan Ibunya ke Mekkah.” di ketika ekonomi kita biasa-biasa saja, dan kau tidak pernah memperbaikinya bahkan malah menurun. Terimakasih alasannya ialah kau membawa kami dalam kehidupan serba kurang yang panjang. Terimakasih alasannya ialah kita miskin.

Tetapi, Pak.

Karena kamu, kini saya punya impian yang banyak sobat tidak dapat memilikinya, alasannya ialah orang bau tanah mereka sudah kaya, salah satunya ialah memberangkatkan Bapak-Ibu mereka naik haji.

Olehmu saya menjadi tahu, bahwa rumah sendiri selalu lebih baik. Saya juga, tak peduli apa, akan selalu berusaha menciptakan badanmu tetap besar. Do’akan, Pak, saya dapat membelikanmu motor besar atau mobil, sehingga cocok digunakan untukmu.

Karena kita miskin, saya jadi tidak dapat ibarat anak muda lainnya yang gemar senang-senang dan foya-foya, dan saya jadi fokus melatih dan menyebarkan diri.

Pak, seberapa pun gagalnya kamu, setidaknya dapat berhasil mendidik anakmu, kan? Saya selalu berusaha membuktikannya kepada semua orang – mengalahkan anak adik-adikmu, kemudian siapa saja yang pernah berkata bahwa kau ialah seorang gagal, mereka menarik kata-katanya untuk berbalik menghormatimu.

Soal saya yang tidak kuliah, ini ialah salahmu. Masih ingat, ketika kau bersama Mama mengajariku huruf-demi-huruf dahulu? Kalian bahkan berhasil membuatku dapat membaca sebelum masuk sekolah, kemudian kau membelikan majalah khusus bawah umur untuk saya konsumsi, padahal anak lain se-usia saya masih sibuk dengan mainan atau mobil-mobilan. Sejak ketika itu, saya kecanduan ilmu pengetahuan, ketika kau berhenti membelikan saya majalah, saya tetap membelinya dengan mengumpulkan uang sendiri. Semoga kau masih ingat, saya ialah tipe anak yang biasa-biasa saja ketika punya mainan baru, tetapi amat kegirangan ketika dibelikan buku baru. Saya selalu dapat membaca apa yang sobat belum baca. Saya sudah khatam anggota ASEAN, ketika anak lain masih hanya dapat menyebut nama-nama Kota di Indonesia, anakmulah satu-satunya di kelas yang paham jikalau Amerika Serikat itu berbeda dengan Benua Amerika, dan Amerika Latin bukanlah sebuah Negara.


Saya kelas 6 SD kau sudah membelikan perangkat komputer, dan menciptakan saya berkenalan dengan internet. Pak, di sana ada apa saja, ruang baca saya semakin luas dan tak terkendali. Di internet, ketika Sekolah Menengah Pertama saya membaca sistem pendidikan Finlandia, bertemu quote Einstein wacana ikan yang tidak dapat memanjat ialah hal wajar, juga biografi-biografi tokoh terkenal, semua itu membentuk saya menjadi seseorang yang ideologis: saya sering sekali bolos untuk pelajaran yang saya benci, bahkan secara sadar sembunyi di kantin. “Untuk apa saya mencar ilmu matematika? Kalau saya akan jadi seniman,” kata saya pada diri sendiri, selalu ibarat itu, bahkan di Sekolah Menengan Atas saya semakin berani. Selain pelajaran Bahasa Indonesia, Sejarah, Kebudayaan, dan Geografi, saya tidak pernah serius, hanya menyakini jikalau terpelajar balig cukup akal kelak saya akan bekerja di salah satu bidang ini, pun ketika memutuskan menentukan Hubungan Internasional dan Sastra Indonesia, seorang Guru sempat menarik hati meninggalkan pilihan ini. “Kalau saya boleh memberi saran, sebaiknya kau pilih saja jurusan yang biasa-biasa saja, supaya kau diterima.” Katanya. “Ini diri saya Pak, maaf, saya tidak dapat menjadi orang lain hanya demi diterima,” Jawab saya, seharusnya kau bangga, Pak. Saya menirumu perihal menggenggam akrab apa yang diyakini.


Semua orang niscaya mempunyai kegagalan maupun keberhasilan dalam hidup mereka, termasuk dirimu. Saya selalu mencintaimu dan akan terus berjuang untukmu.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here